Selasa, 30 Juli 2013

Berbagi Tips Berburu Beasiswa(Sebuah Pengalaman)

“Bermimpilah, Niscaya Tuhan Memeluk Mimpi itu” #Arai-Sang Pemimpi

Ada banyak jalan ke Roma, yup itu benar adanya, ada banyak juga jalan untuk untuk mewujudkan mimpi, tergantung bagaimana usaha kita di sertai kesabaran dan berdoa. Hal ini yang mendorong penulis blog ini untuk melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi, dengan beasiswa tentu saja.
Lulus dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial menyandang gelar S.ST tidak membuatku puas, sedikit ambisius, tapi aku menyukainya, bergelut dalam bidang pendidikan, dalam hal ini ingin menjadi seorang Dosen. Bersyukur orangtua mendukung cita-cita itu, walau aku menyakinkan mereka dengan berharap mendapat beasiswa setidaknya bisa meringankan, bukan benar-benar menghilangkan, karena aku tahu jalan perjuangan ini masih panjang.
Lulus dari STKS Bandung, yang pertama dalam benakku adalah mendapatkan sertifikat bahasa inggris, TIPS PERTAMA, dapatkan sertifikat bukti kemampuan bahasa inggris. IELTS yang menjadi pilihanku, karena secara global IELTS banyak di pakai sebagai tolak ukur pendidikan tinggi, selan itu materi tes terbilang lengkap di banding lain, sehingga juga menjadi tolak ukur terhadap kemampuan kita sendiri. Karena bertaraf International biayanya juga tidak murah, memakai kurs mata uang asing. Waktu pertama kali mendaftar aku mendaftar di kantor IDP Bandung, lembaga yang khusus memberikan informasi Pendidikan Tinggi di luar negri (Terutama Negara-negara maju seperti Australia dan Inggris) dan mengantongi ijin mengadakan tes IELTS di Indonesia(di daerah asalku belum ada, jadi mumpung masih di Bandung maka tes di laksanakan di Bandung setelah wisuda:D ).
Tes berlangsung dua bulan sekali, karena terbatasnya tempat duduk untuk ikut tes, jadi ada baiknya mendaftar jauh-jauh hari agar mendapat kursi ksong. Alhamdulilalh ketika aku mendaftar ada bangku kosong satu, bulan itu juga, prosedurnya adalah datang ke kantor LPDP mengenai ujian/tes, membayar biaya tes dengan kurs mata uang asing kira-kira dalam rupiah sekitr 2 juta-an. Ujian dilaksanakan dua kali sesi, pertama adalah sesi tertulis dengan sub-tes LISTENING, READING dan WRITING. Kemudian yang terakhir adalah Speaking bersama dengan Native Speaker alias penguji dari luar negri (bule). Masing-masing memiliki tingkat kesulitan dan mesti banyak berlatinh, kursus tambahan akan sangat membantu, karena penulis pengalaman ini sama sekali tidak belajar dengan orang lain, selain pendidikan formal di kelas, penulis hanya belajar secara otodidak dari buku-buku, mendengarkan musik dan nonton film. Sebagai tambahan mungkin bagus, akan tetapi hasilnya kurang, terbukti ketika hasil tes keluar skor menunjukkan tinggat Average atau rata-rata, bahkan untuk ukuran masuk universitas luar negri di jenjang master di bawah rata-rata.
Tapi itu bukan alasan menyerah, TIPS KEDUA, Ikhtiar, berDo’a dan Tawakal, yup, semangat tanpa ada habisnya, pertama carilah informasi beasiswa, bagiku dimanapun tidak masalah. Sebut saja di Spanyol dimana bahasa inggris bukan bahasa utama akan tetapi beasiswanya PANACEA mensyaratkan Skor IELTS yang standar? Ada banyak negara lain seperti Korea, Jepang, Thailand yang serupa mensyarakan bahasa inggris yanng standar karena negaranya bukanlah pengguna bahasa inggris. Secara nekat aku daftarkan semua, walau bisa di bilang tentu dengan sungguh-sungguh, setiap beasiswa memberikan syarat-syarat tertentu untuk seleksi dokumennya, dan semuanya harus di lengkapi dengan baik. Setelah usaha (ikhtiar), tidak lupa berdo’a dan berserah diri kepadaNya(Tawakal), akhirnya semuanya di tolak, hehehe.
Masih banyak yang lain begitulah pikirku, sebut saja beasiswa pemerintah maju bagi negara berkembang sangat banyak, seperti Beasiswa Stunned(Belanda), Beasiswa Eramus Mundus(Inggris), Beasiswa ADS(Australia), beasiswa Fullbright(Amerika), Beasiswa New Zealand, dan lain sbagainya, kalian bisa tanya mbah yang hampir tau segalanya, siapa lagi kalau bukan Mbah Google :P .
Beasiswa di Indonesia juga tidak kalah banyak, sebut saja program perusahaan seperti Sampoerna Foundation, Pertamina, Djarum dan dari Pemerintah Indonesia seperti beasisiwa unggulan, Beasiswa Dikti, LPDP, Calon Dosen dan beberapa dari Lembaga seperti Tanoto Fondation. Tapi semuanya juga perlu usaha, paling tidak untuk dokumen persyaratan sudah lengkap dan d akhiri tawakal di sempurnakan d’oa.
Proses yang panjang menempatkanku harus kembali ke Bandung(Sudah pulang kampung beberapa bulan), karena persyaratan beasiswa banyak yang harus di urus di kampus asal kita. Sering ke perpus juga menjadi keseharian pencari beasiswa, banyak usaha, insya Allah ada jalannya. Usaha kadang harus lebih daripada orang lain bagaimana penulis hanya demi tanda tangan dosen hujan-hujanan dengan musibah ban motor pecah(motor pinjaman pula) menyambangi bandara hanya untuk mendapatkan tanda tangan rekomendasi seorang dosen, menunggu berjam-jam dan ternyata berselisih jalan, akhirnya penulis kembali hujan-hujanan mendatangi rumah beliau yang jaraknya lumayan jauh dan Alhamdulillah selalu ada hikmahnya karena beliau mau dititipi berkas dokumen dimana sebelumnya penulis kerepotan harus membuat rekening bank asing demi pendaftaran. Bagaimana penulis blog ini juga, jalan kaki, di panas terik jakarta sampai kulit kaki terkelupas demi kejelasanan beasiswa, bagaimana karena keteledorannya, dari jogja harus kembali ke bandung padahal baru hari itu datang dan malamnya harus berangkat lagi dengan bis malam karena kekurangan dokumen (kesalahan surat rekomendasi), semuanya hanya demi cita-cita.
Beruntunglah mereka yang bisa sekolah setinggi-tingginya tanpa harus memikirkan bagaimana sulitnya bagi orang seperti penulis mendapatkan biaya untuk kuliah lagi. Tapi penulis beruntung memiliki orangtua yang mensupport perjuangan ini, tanpa mereka tentu akan lebih berat lagi, seperti yang penulis bilang di awal, paling tidak meringakan beban mereka nantinya.
UI, Universitas Indonesia, tergerak melihat teman yang sudah lanjut kuliah disana, aku juga mencoba-coba daftar disana, dengan tumpangan sahabat selama masih kuliah di bandung yang sekarang melanjutkan studi di UI penulis mendaftar dan mengikuti ujian. Meskipun bisa di bilang, penulis tidak mendapati adanya beasiswa yang diberikan di UI kecuali dari lembaga seperti Tanoto akan tetapi Cuma berlaku bagi mahasiswa semester akhir kalau tidak salah. Menunggu kurang lebih sebulan penulis idnyatakan lulus dan diminta melakukan pendaftaran ulang dengan biaya Rp.13.000.000, tidak ada biaya, penulis tidak melakukan registrasi.
USM, University Sain Malaysia, penulis mendapat rekomendasi dari seorang dosen yang luar biasa, bisa di bilang inilah kampus impian penulis, dengan usaha/ikhtiar luar biasa, penulis dinyatakan diterima di kampus itu, meskipun kejelasanan beasiswa dari MIS(Malaysia International Scholarship)  belum ada sampai sekarang sebagi support finansial disana. Karena jujur saja, kampus seperti UI saja tidak mampu, bagaimana dengan di luar sana? Meskipun ada kekecewaan mendalam sampai sekarang.
UGM, Universitas Gajah Mada, siapa yang tidak kenal kampus nomor wahid di negara ini, penulis mencoba peruntungan dengan dua jurusan di kampus ini, salah satunya tidak bisa di lanjutkan karena adanya martikulasi yang bisa di bilang membingungkan syarat dan prasyaratnya. Meskipun penulis dengar masuk kampus ini sangat sulit, teman asrama(kebetulan tinggal di asrama daerah ketika di jogja untuk menghemat biaya) mendaftar tiga kali dalam jalur berbeda dan gugur juga tiga kali, penulis tidak tahu apa yang dia rasakan tapi pasti rasanya kecewa sekali.
LPDP, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, sebuah lembaga yang di prakarsai Kementrian Keuangan memberikan beasiswa kepada siapa saja yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi, ya siapa saja, walau saya sedikit heran ketika melihat saat menunggu tes, ada peserta yang datang dengan mobil sendiri padahal masih muda dan seperti anak orang kaya, atau yang datang adalah dosen yang telah jadi dosen tetap dimana mungkin menjadi dosen akan lebih mudah mendapat beasiswa dari kampus sendiri, ada rasa ketidak adilan, tapi perasangka buruk seperti itu adalah salah satu penyakit hati, penulis membuangnya jauh jauhnya, masing masing ada rejekinya, dan akhirnya nama penulis muncul di SK LPDP sebagai calon penerima beasiswa. Sujud syukur tergerak, walau kendalanya belum berhenti disitu, dan masih berlanjut......
Sedikit masukan bagi kalian yang ingin berburu beasiswa;


  1. Yang pertama adalah niat, niat dari dari jauh-jauh hari karena kemampuan akademik sebelumnya harus memadai, dalam hal ini sewaktu S1 usahakan nilai kalian CumLaude.
  2. Pelajari kemampuan bahasa asing, terutama bahasa inggris, usahakan mendapatkan sertifikat yang di akui dan dengan nilan memadai.
  3. Ikhtiar, Do’a dan Tawakal. Usaha sampai habis sehabis habisnya keringat, jangan lupa berdoa dengan yang di atas, dan berserah diri atas apapun hasilnya nanti.
Ingatlah, Allah merahasiakan masa depan untuk menguji kita agar;
  1. Berprasangka baik
  2. Merencanakan dengan baik
  3. Berusaha yang terbaik
  4. Serta bersyukur dan bersabar



Sekian Tipsnya, terimakasih telah mebaca tulisan yang masih banyak kekurangannya ini, sampai jumpa di postingan berikutnya :)

Kamis, 25 Juli 2013

Perkenalan

Namaku Rianda Abdi,  namaku di berikan oleh Kakek'ku, aku tidak sempat menanyakan kepada beliau, kenapa memberikan nama kepadaku (Red; Rianda Abdi) dan makna apa yang ada di dalamnya karena beliau meninggal ketika waktu kecil, sampai sekarang itu masih misteri bagiku. Search di Internet-pun hanya membuahkan hasil nama awalan 'Rian' yang berarti 'Pangeran' dan 'Abdi' yang bermakna 'Hamba' atau 'Saya'.  
Cukup tentang nama.

Aku berbeda, itulah yang kukatakan kepada diriku, entah mengapa aku selalu tidak bisa menyukai orang yang berbeda dengan prinsipku. aku bisa berteman dengan siapa saja, tapi saat ditanya hal 'suka' aku akan menjawab tidak. Ketika masih SD, anak-anak sebaya denganku di komplek rumah (bukan komplek seperti sekarang, tapi dulu namanya PerumNas alias Perumahan Nasional) sudah mencoba yang namanya rokok, ejekan cemen atau penakut sering keluar dari mulut mereka, tapi tidak apa-apa, aku tahu rokok tidak baik karena aku suka sekali membaca buku dan mengetahui rokok itu berbahaya menjadikanku anti rokok dari kecil(walau ayah sendiri merokok sebenarnya), yang lebih parah adalah sewaktu SD berkaitan dengan rokok malah menjadikanku tidak punya teman, hal yang benar-benar tidak logis dimana rokok menjadi tolak ukur pertemanan. 
Lain lagi ketika masa SMA ketika 'bolos' atau 'cabut' dengan teman-teman adalah hal menyenangkan pada masa remaja, lagi-lagi pikiranku menjadi tidak bisa memahami itu semua, walau yang tersisa di kelas cuma aku laki-laki yang tersisa ikut pelajaran sekolah sedikit membuat frustasi. tapi sisi lucunya, tidak seperti ketika SD, mereka malah menjadikanku bahan taruhan siapa yang bisa merayu aku untuk bolos akan di traktir sepuasnya, walau pada akhirnya tidak ada yang berhasil.
Masa kuliah juga kulewati dengan hal yang tidak sejalan prinsipku, tinggal di tempat yang jauh dari rumah dan mandiri, maka kuputuskan untuk tinggal di Asrama Daerah, sedikit meringankan beban orangtua tujuan awalku, tapi apa yang kudapat? Senior-senior yang 8 Tahun belum lulus-lulus, yang bisa dengan santainya mengerjai juniornya, inikah Asrama Mahasiswa yang seharusnya isinya adalah mahasiswa yang serius untuk belajar  malah di isi para batman (tahu sendiri kelelawar kerjanya apa)..
Aku berbeda, tapi aku bersyukur, karena manusia tidak ada yang sama, karena manusia unik, inilah  aku.

Ini hanya perkenalan, Ini hanya sedikit cerita, kalian mungkin tahu siapa diriku, tapi belum tentu ceritaku.